Search This Blog

Wednesday 9 March 2011

Rencana LOBI GD. A POLINELA






BELAJARLAH PADA BANJIR 2008 !!!



Oleh : Iskandar Zulkarnain, S.T.,  M.T.
Dosen Program Study Teknik Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Politeknik Negeri Lampung

Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air kehidupan bermula dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah, karena tanpa air planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, massif dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan.
Air menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia, artinya setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air.
Mekanisme turunnya air melalui hujan dalam siklus hidrologi adalah rahmat Sang Pencipta. Dan bila berbicara tentang siklus, maka hakekatnya kuantitas komponen siklus apapun bentuknya selalu memenuhi prinsif keseimbangan termasuk juga kuantitas air dalam sebuah siklus hidrologi.
Namun demikian, kerentanan sebuah siklus hidrologi terhadap kontaminasi   gangguan tak terbantah lagi, yang pada akhirnya ketika musim hujan datang, pada beberapa daerah mengalami kelimpahan air yang luar biasa besar dengan kekuatan daya rusak yang tak terkendali. Sementara pada musim kemarau, kekurangan air dan kekeringan menjadi bencana yang mengerikan, di sana-sini banyak ditemui orang sulit untuk mendapakan air. Pada kondisi yang demikian air dapat berubah menjadi barang langka yang bukan lagi public goods dan implikasi terhadap harganya dapat saja menjadi sangat mahal.
Berbicara menganai kelimpahan air akibat ketidakstabilan siklus hidrologi, maka istilah ”Banjir” sering menjadi momok yang menakutkan di kala musim hujan datang. Tak ayal memang, banjir merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh kota-kota berpenghuni padat. Sebut saja Bandar Lampung misalnya dengan tingkat kepadatan penduduk > 4.587 jiwa/km².
Secara logika Kota Bandar Lampung dengan ketinggian rata-rata lebih dari 100 mdpl dan berkontur miring kearah laut, seharusnya tidak rawan terhadap banjir. Namun kenyataannya, logika ini menjadi mentah sama sekali jika melihat pemandangan Bandar Lampung yang becek, tergenang air dan banjir di mana-mana jika turun hujan, walaupun hujan yang turun tidak begitu lebat dan mengguyur kota ini hanya dalam durasi waktu 2 jam saja.
Lihatlah tetesan HUJAN yang mengguyur Bandar Lampung beberapa waktu lalu, dengan intensitas curah hujan yang tidak begitu lebat dan durasi waktu hanya 2 jam kurang saja beberapa daerah seperti Kelurahan Kangkung, Jalan Teuku Umar Gang Ultra dan Gang Violet, Kecamatan Kedaton serta Perumahan Nyunyai Rajabasa Kecamatan Rajabasa, Jalan Sam Ratulangi Gang Satria II serta Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Pangeran Antasari, Jalan Gajahmada, Jalan Malahayati, Jalan Yos Sudarso, Bahkan pusat kota seperti di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A. Pagaralam. pun tak luput dari banjir
Permasalahan klasik banjir di Bandar Lampung terjadi sejak tahun 1985. Dan fenomena banjir ini kembali terjadi pada tahun 1991, kemudian puncaknya terjadi pada penghujung tahun 2008.
Jika menilik pada pada makna hujan dalam siklus hidrologi sebagai Anugerah Allah SWT, maka sebenernya alam tidak menyumbang peran penyebab terjadinya fenomena banjir yang kita rasakan. Penyebab utamanya adalah karena faktor pengelolaan sumberdaya alam yang lakukan tanpa memperhatikan prinsif-prinsif keseimbangan.
Boleh jadi penyebab banjir di Bandar Lampung cukup kompleks, dan seringkali faktor buruknya cuaca dengan curah hujan yang tinggi, selalu menjadi tertuding utama, namun secara legowo kita harus mengakui bahwa Bandar Lampung seringkali terendam banjir lebih disebabkan lebih karena faktor manusia.
Akar permasalahan yang mungkin teridentifikasi bisa saja pada aspek kebijakan Pemerintah Kota, dengan banyaknya izin yang diberikan untuk pengembangan kawasan komersil yang menghancurkan kawasan terbuka hijau, pembangunan sistem drainase kota yang asal-asalan, pemberian IMB bagi pemukiman di bantaran sungai, buruknya manajemen pengelolaan sampah, dan tidak dipatuhinya rencana tata ruang wilayah yang telah disusun. Hasilnya, pembangunan kota Bandar Lampung berjalan sporadis dan bersifat menghancurkan lingkungan hidup, sehingga bencana banjir dan genangan air saat hujan mengguyur tidak dapat dihindari terjadi.
Seharusnya bencana banjir bandang yang merusak hampir merusak lebih dari 1/3 kawasan Kota Bandar Lampung pada 18 Desember 2008 lalu, merupakan pelajaran yang berharga bagi para Stakesholders karena kerugian material terhanyut oleh banjir di jika dinominalkan menyentuh angka hingga ratusan milyar rupiah.
Jika melihat maraknya pemberitaan banjir yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini, sudah seharusnya pihak Pemerintah Kota Bandar Lampung menjadi lebih sensitif dan peduli terhadap akar permasalahan penyebab terjadinya banjir, jangan hanya tersadar ketika bencana banjir datang menerjang.
Antisipasi terhadap hal ini harus segera dilakukan dengan perencanaan yang matang, berkesinambungan, public oriented, selaras dengan apa yang diamanatkan UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, dan melakukan positive action dalam rangka menjaga keseimbangan PESAN LANGIT pada SIKLUS HIDROLOGI untuk mengelola tetesan air hujan menjadi lebih bersahabat walaupun dalam intensitas dan durasi hujan yang cukup tinggi, sehingga kota ini menjadi bebas dari BANJIR dan GENANGAN AIR.

SEMOGA.......

PESAN LANGIT DALAM PENGELOLAAN AIR



Oleh : Iskandar Zulkarnain, S.T.,  M.T.
Dosen Program Study Teknik Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Politeknik Negeri Lampung

Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air kehidupan bermula dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah, karena tanpa air planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, massif dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan.
Air menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia, artinya setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air.
Al Qur’an dalam Surat Ibrahim Ayat 32 merupakan pesan Allah SWT yang menjadi dasar teori akan hal tersebut diatas. Tafsir dari surah tersebut adalah: “Allah SWT menciptakan langit dan bumi, dan diturunkan-Nya dari langit hujan, maka ditumbuhkan-Nya dengan air itu buah-buahan yang beraneka ragam, dan dimudahkan-Nya kepadamu bahtera yang berlayar dengan kehendak-Nya, dan diserahkan-Nya kepadamu sungai-sungai”.
Bila kita sejenak merenungi tafsir ayat di atas, sesungguhnya  mekanisme turunnya air melalui hujan dalam siklus hidrologi adalah rahmat Allah SWT. Namun tak terbantah lagi ketika musim hujan datang, pada beberapa daerah mengalami kelimpahan air yang luar biasa besar sehingga daya rusaknya semakin tak terkendali, akibatnya bencana banjir dan tanah longsor mungkin terjadi.
Sementara pada musim kemarau, kekurangan air dan kekeringan menjadi bencana yang mengerikan, di sana-sini banyak ditemui orang sulit untuk mendapakan air. Pada kondisi yang demikian air dapat berubah menjadi barang langka yang bukan lagi public goods dan implikasi terhadap harganya dapat saja menjadi sangat mahal.
Kutipan Ayat Al-Qur’an berikut, mungkin bisa kita jadikan referensi untuk menjawab persoalan diatas.
“......................Dan kami curahkan hujan yang lebat atas mereka, dan kami jadikan sungai-sungai yang mengalir di bawah mereka, kemudian kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”.(Q.S. Al An’aam : 6)
Tersurat bahwa sebenarnya Allah SWT, tidak serta-merta menurunkan hujan lebat yang akhirnya menimbulkan becana banjir dan tanah longsor. Namun bencana akibat fenomena alam itu sesungguhnya adalah wujud dosa kita karena mengekspoitasi alam secara berlebihan tanpa mengindahkan hukum keseimbangan. Bila hari ini kita observasi sebuah sungai di suatu wilayah, dapat disimpulkan bahwa fluktuasi debit pada saat musim kering dan musim basah sangat menyolok, hal mengindikasikan bahwa telah rusaknya sistem tata air yang merupakan bagian vital dalam sumber daya alam secara keseluruhan.
Penegasan terhadap hal ini, mungkin sangat relevan jika kita sekali lagi mencoba merenungi sebuah ayat Al-Qur’an dalam Surah Ar Ruum : 41, yang berbunyi:
“Telah nampak kerusakkan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar”.  
Yang paling menarik dari kutipan ayat diatas adalah  pada bagian akhir, dimana Allah SWT berpesan kepada kita untuk kembali ke jalan yang benar dalam pengelolaan tata air khususnya maupun pengelolaan alam secara umum.
Reformasi di bidang sumber daya air yang dituangkan dalam UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, sebenarnya merupakan positive action yang dilakukan pemerintah dalam rangka kita untuk “Kembali kejalan yang benar” khususnya pada pengelolaan tata air. Amanat dalam UU itu, agaknya memang selaras dengan pesan langit  dalam surah  Ar Ruum diatas, karena didalamnya mengatur secara teknis tiga aspek penting dalam pola pengelolaan sumber daya air yang memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan.
Ketiga aspek teknis itu sebut saja yaitu Konservasi, Pendayagunaan SDA dan  Pengendalian Daya Rusak Air yang harus dilakukan secara unpartial, tujuannya adalah mengoptimalkan resultan ekonomi  dan kesejahteraan sosial tanpa mengganggu kestabilan ekosistem.
Aspek konservasi dalam pengelolaan SDA merupakan bagian yang sangat dahsyat dalam rangka menggembalikan sistem alam pada keadaan dimana keseimbangan menjadi prioritas. Analisis didalamnya memuat tata cara perlindungan & pelestarian SDA, pengawetan air, pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Kesemuanya ini jika dicermati merupakan bagian penting dalam menjaga keseimbangan tata air khususnya.
Sementara bagian pendayagunaan, bertujuan untuk memanfaatkan SDA secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil. Kegiatan ini dilakukan dengan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan SDA yang mengacu pada pola pengelolaan SDA yang ditetapkan pada setiap sungai.
Hal lain yang tidak kalah penting dalam rangka pengelolaan SDA adalah aspek pengendalian daya rusak air yang wajib dilakukan secara menyeluruh dengan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Penekanan bagian ini adalah pada pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air secara terpadu dan menyeluruh, dengan lebih mengutamakan pada kegiatan Non-Fisik berupa penerapan piranti lunak (pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian).
Jika ingin ditarik korelasi dari apa yang saya sampaikan di atas terhadap kondisi pengelolaan tata air di Lampung umumnya dan Bandarlampung khususnya, maka sesungguhnya kota kita ini belumlah mempunyai pola pengelolaan SDA yang terpadu. Penanganan terhadap pengelolaan tata air di kota ini hanya dilakukan secara partial  yang disesuaikan pada tingkat kebutuhan sesaat.
Menjadi maklum memang jika Jazirah Ruwah Jurai ini belum memiliki pola pengelolaan SDA yang dimaksud, karena memang baru beberapa wilayah sungai saja yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang sudah/sedang menyusun pola pengelolaan tersebut.  Namun kiranya memang harus menjadi perhatian bagi stakeholders ranah ini, untuk secepatnya menyusun pola pengelolaan SDA yang terpadu dalam bentuk rencana-rencana kegiatan jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang paling tepat baik fisik maupun non fisik yang sinergi dan berwawasan lingkungan sejalan dengan pesan  Allah SWT, karena jika pengambil kebijakan kota ini hanya bersikukuh pada pola pengelolaan yang partial, boleh jadi kita hanya akan mewariskan permasalahan SDA yang lebih komplek untuk generasi mendatang, “betul- tidak”?