Oleh : Iskandar Zulkarnain, S.T., M.T.
Dosen Program Study Teknik Sumberdaya Lahan dan Lingkungan
Politeknik Negeri Lampung
Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air kehidupan bermula dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Logika sederhananya, tanpa air peradaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah, karena tanpa air planet bumi akan menjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, massif dan mengambang di alam raya menuju kemusnahan.
Air menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai pangan mahluk hidup di bumi. Karena itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia, artinya setiap manusia di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air.
Mekanisme turunnya air melalui hujan dalam siklus hidrologi adalah rahmat Sang Pencipta. Dan bila berbicara tentang siklus, maka hakekatnya kuantitas komponen siklus apapun bentuknya selalu memenuhi prinsif keseimbangan termasuk juga kuantitas air dalam sebuah siklus hidrologi.
Namun demikian, kerentanan sebuah siklus hidrologi terhadap kontaminasi gangguan tak terbantah lagi, yang pada akhirnya ketika musim hujan datang, pada beberapa daerah mengalami kelimpahan air yang luar biasa besar dengan kekuatan daya rusak yang tak terkendali. Sementara pada musim kemarau, kekurangan air dan kekeringan menjadi bencana yang mengerikan, di sana-sini banyak ditemui orang sulit untuk mendapakan air. Pada kondisi yang demikian air dapat berubah menjadi barang langka yang bukan lagi public goods dan implikasi terhadap harganya dapat saja menjadi sangat mahal.
Berbicara menganai kelimpahan air akibat ketidakstabilan siklus hidrologi, maka istilah ”Banjir” sering menjadi momok yang menakutkan di kala musim hujan datang. Tak ayal memang, banjir merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh kota-kota berpenghuni padat. Sebut saja Bandar Lampung misalnya dengan tingkat kepadatan penduduk > 4.587 jiwa/km².
Secara logika Kota Bandar Lampung dengan ketinggian rata-rata lebih dari 100 mdpl dan berkontur miring kearah laut, seharusnya tidak rawan terhadap banjir. Namun kenyataannya, logika ini menjadi mentah sama sekali jika melihat pemandangan Bandar Lampung yang becek, tergenang air dan banjir di mana-mana jika turun hujan, walaupun hujan yang turun tidak begitu lebat dan mengguyur kota ini hanya dalam durasi waktu 2 jam saja.
Lihatlah tetesan HUJAN yang mengguyur Bandar Lampung beberapa waktu lalu, dengan intensitas curah hujan yang tidak begitu lebat dan durasi waktu hanya 2 jam kurang saja beberapa daerah seperti Kelurahan Kangkung, Jalan Teuku Umar Gang Ultra dan Gang Violet, Kecamatan Kedaton serta Perumahan Nyunyai Rajabasa Kecamatan Rajabasa, Jalan Sam Ratulangi Gang Satria II serta Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Pangeran Antasari, Jalan Gajahmada, Jalan Malahayati, Jalan Yos Sudarso, Bahkan pusat kota seperti di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A. Pagaralam. pun tak luput dari banjir
Permasalahan klasik banjir di Bandar Lampung terjadi sejak tahun 1985. Dan fenomena banjir ini kembali terjadi pada tahun 1991, kemudian puncaknya terjadi pada penghujung tahun 2008.
Jika menilik pada pada makna hujan dalam siklus hidrologi sebagai Anugerah Allah SWT, maka sebenernya alam tidak menyumbang peran penyebab terjadinya fenomena banjir yang kita rasakan. Penyebab utamanya adalah karena faktor pengelolaan sumberdaya alam yang lakukan tanpa memperhatikan prinsif-prinsif keseimbangan.
Boleh jadi penyebab banjir di Bandar Lampung cukup kompleks, dan seringkali faktor buruknya cuaca dengan curah hujan yang tinggi, selalu menjadi tertuding utama, namun secara legowo kita harus mengakui bahwa Bandar Lampung seringkali terendam banjir lebih disebabkan lebih karena faktor manusia.
Akar permasalahan yang mungkin teridentifikasi bisa saja pada aspek kebijakan Pemerintah Kota, dengan banyaknya izin yang diberikan untuk pengembangan kawasan komersil yang menghancurkan kawasan terbuka hijau, pembangunan sistem drainase kota yang asal-asalan, pemberian IMB bagi pemukiman di bantaran sungai, buruknya manajemen pengelolaan sampah, dan tidak dipatuhinya rencana tata ruang wilayah yang telah disusun. Hasilnya, pembangunan kota Bandar Lampung berjalan sporadis dan bersifat menghancurkan lingkungan hidup, sehingga bencana banjir dan genangan air saat hujan mengguyur tidak dapat dihindari terjadi.
Seharusnya bencana banjir bandang yang merusak hampir merusak lebih dari 1/3 kawasan Kota Bandar Lampung pada 18 Desember 2008 lalu, merupakan pelajaran yang berharga bagi para Stakesholders karena kerugian material terhanyut oleh banjir di jika dinominalkan menyentuh angka hingga ratusan milyar rupiah.
Jika melihat maraknya pemberitaan banjir yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini, sudah seharusnya pihak Pemerintah Kota Bandar Lampung menjadi lebih sensitif dan peduli terhadap akar permasalahan penyebab terjadinya banjir, jangan hanya tersadar ketika bencana banjir datang menerjang.
Antisipasi terhadap hal ini harus segera dilakukan dengan perencanaan yang matang, berkesinambungan, public oriented, selaras dengan apa yang diamanatkan UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, dan melakukan positive action dalam rangka menjaga keseimbangan PESAN LANGIT pada SIKLUS HIDROLOGI untuk mengelola tetesan air hujan menjadi lebih bersahabat walaupun dalam intensitas dan durasi hujan yang cukup tinggi, sehingga kota ini menjadi bebas dari BANJIR dan GENANGAN AIR.
SEMOGA.......
No comments:
Post a Comment